Tuesday, September 11, 2007

PENYATUAN KALENDER MUHAMMADIYAH

oleh : Pimpinan Pusat Muhammadiyah

# Materi Simposium Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah

Pendahuluan

Penggunaan penanggalan qamariyah -dinamakan juga Kalender Hijriyyah- bagi umat Islam bukan saja karena tuntutan sejarah dan sosial kemasyarakatan akan tetapi yang lebih penting lagi adalah tuntutan dari ajaran Islam. Firman Allah swt. Dalam surat at- Taubah ayat 36 berbunyi:

Image

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram

dan Sabda Nabi saw:

Image

Firman Allah swt. dan sabda Nabi saw. tersebut menegaskan bahwa sistem kalender yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya adalah kalender yang memuat nama bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab, Jumadats-tsaniyyah, dan Sya'ban. Kalender tersebut tidak lain adalah kalender qamariyah. Islam menetapkan waktu-waktu ibadah tertentu dengan bulan qamariyah, misalnya puasa wajib ditetapkan waktunya pada bulan Ramadlan, Shalat 'Idul-Fitri pada tanggal satu Syawwal, dan Shalat 'Idul­Adha tanggal 10 Dzulhijjah. Dengan demikian penggunaan kalender qamariyah oleh umat Islam, khususnya untuk kepentingan ibadah, tidak dapat ditawar lagi.

Masalahnya adalah, sampai saat ini belum ada keseragaman di kalangan umat Islam dunia dalam penyusunan kalender qamariyah. Hingga sekarang tidak jarang ditemukan perbedaan tanggal qamariyah, bahkan yang lebih menyolok lagi perbedaan itu justru pada tanggal-tanggal yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan ibadah. Perbedaan pelaksanaan hari raya ('idul-fitri, 'idul-adha) serta awal bulan Ramadlan di Indonesia sudah sering terjadi. Hal ini sering menimbulkan kebingungan di masyarakat, walaupun tidak selalu menimbulkan konflik karena pada umumnya tingkat toleransi masyarakat muslim cukup tinggi. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masalah agama yang peka itu dapat menimbulkan keresahan yang akan mengganggu ketentraman masyarakat bila ada faktor lain yang memicunya.

Masalah ini bukan masalah baru tetapi sudah sangat klasik, namun penyelesaiannya pun tidak kunjung tiba. Penyatuan kalender qamariyah bagi seluruh umat Islam jelas tidak mudah karena masalahnya bukan saja terkait dengan agama tetapi dalam pelaksanaannya terkait juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya IImu Falak (Astronomi), masalah sosial kemasyarakatan, bahkan sudah merambah masuk dalam ranah politik. Semuanya menyatu tidak mudah dipisahkan, sehingga membuat persoalan semakin menjadi kompleks.

Kalender Hijriyah, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an surat Yunus ayat 5:

Image

"Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempaQ bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) .. ,,"

didasarkan pada perubahan bentuk (fase) Bulan dalam peredarannya mengelilingi bumi. Dengan demikian, kalender Hijriyah diklasifikasikan ke dalam kalender lunar. Dalam setahun Hijriyah terdapat 12 lunasi dengan setiap lunasi adalah selang waktu antara dua peristiwa konjungsi astronomis (ijtima') Bulan-Matahari secara berurutan. Sementara umur sehari dalam kalender Hijriyah adalah selang waktu antara dua peristiwa terbenamnya Matahari (Ghurub) secara berurutan. Fase Bulan ditentukan oleh periode sinodisnya yang umurnya rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik atau dibulatkan menjadi 29,5 hari. Dengan demikian, kunci pokok dalam penyusunan kalender qamariyah atau Hijriyah terletak pada penetapan awal­awal bulan qamariyah tersebut. Perbedaan dalam penetapan awal bulan berakibat pada berbedanya kalender Hijriyah.

Mengenai penetapan awal bulan qamariah, prinsip-prinsipnya telah ditunjukkan baik oleh al-Qur'an maupun as-Sunnah dan telah ditegaskan oleh ilmu pengetahuan. Namun karena ayat-ayat al-Qur'an tersebut dipandang dan difahami sebagai ayat yang masih terbuka bagi penafsiran yang berbeda­beda, sementara itu as-Sunnah yang dijadikan pedoman operasional di samping beraneka ragam redaksi yang diterima oleh para periwayat, juga masih mungkin diberi pemahaman yang berbeda, maka akibatnya muncullah aneka ragam pengertian dan kesimpulan. Sesuai dengan pemahaman terhadap kandungan al-Qur'an dan as-Sunnah tersebut, kaum muslimin menempuh berbagai cara yang berbeda-beda pula.

Dalam hal penetapan awal bulan qamariah, prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-Sunnah tersebut diapresiasi dan diamalkan dengan cara yang beraneka ragam dengan berbagai variasinya, misalnya rukyat, ijtima' qablal-ghurub, wujudul-hilal, dan imkanur-rukyat. Ini merupakan problem yang hingga kini belum dapat diselesaikan.

Simposium Internasional ini bukan dimaksudkan untuk memperuncing masalah atau mempertajam perbedaan pendapat tersebut, akan tetapi justru sebaliknya untuk mencari penyelesaian atau mencari jalan keluar dari masalah tersebut, atau sekurang-kurangnya dapat mengidentifikasi masalah yang ada di dalamnya, agar menyadari dan memahami, kemudian mau melakukan telaah, kajian dan penelitian ulang secara obyektif, mendalam, dan seksama, dengan dilandasi keikhlasan dan rasa tanggungjawab yang penuh dalam rangka mencari kebenaran ilmiah dan kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan cara demikian, syari'at Islam diharapkan dapat dipahami secara tepat dan benar. Norma-norma Islam yang baku dan universal dapat dipedomani dan dipertahankan dengan kokoh sedangkan norma-norma yang terkait dengan dinamika perubahan sosial dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, Islam akan benar-benar dapat dirasakan kemaslahatannya oleh umat manusia.

Faham Keagamaan

Perbedaan pendapat tentang penentuan awal bulan qamariah yang berkembang dalam masyarakat sesungguhnya lebih bersifat tiqhiyyah, artinya perbedaan pendapat itu berawal dari masalah paradigma fikih dan implementasinya. Para ahli fikih, umumnya, berpedoman pada paradigma bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalah) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil eksplisit yang melarangnya, sedangkan hukum asal dalam bidang ibadah adalah dilarang kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah dan atau dicontohkan oleh Rasul saw. Dari perspektif ini, materi fikih dibedakan menjadi dua bagian. Bagian pertama materi fikih yang menyangkut ibadah dan bagian kedua materi fikih yang menyangkut mu'amalah ('iidah). Secara fi losofis, pembidangan materi fikih ini dirumuskan dalam sebuah kaidah populer yang berbunyi:

Image

Pada dasarnya ibadah da/am hubungannya dengan mukaI/at ada/ah bersitat ta'abbudi, tanpa berpa/ing kepada makna-maknanya; sedangkan pada dasarnya 'adat (mu'ama/ah) meno/eh pada makna-maknanya.

Dengan demikian, ada masalah-masalah yang dapat dianalisis dan dipecahkan dengan menggunakan rasio atau akal, dan ada pula masalah­masalah yang tidak dapat dianalisis dan dipecahkan dengan rasio, melainkan hanya dapat dipecahkan dengan berdasarkan wahyu. Masalah pertama disebut ta'aqqu/i atau ijtihadi dan yang kedua disebut ta'abbudi.

Bagi sebagian kaum muslimin, ketentuan waktu puasa Ramadan (termasuk 'idul-fitri) dan metode atau tatacara untuk mengetahuinya adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya termasuk dalam wilayah ta'abbudi. Oleh karena itu harus dan hanya berdasarkan wahyu secara eksplisit. Dengan demikian, ketentuan mengenai puasa wajib di bulan Ramadan adalah semata-mata karena wahyu Allah bukan hasil olah pikir man usia. Demikian pula untuk mengetahui awal dan sekaligus akhir bulan Ramadan harus dan hanya mengikuti petunjuk eksplisit dari Rasulullah saw. Bagi kelompok ini, metode untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan adalah ru'yah. Jika ru'yah tidak berhasil maka jalan keluarnya adalah menyempurnakan umur bulan Sya'ban 30 hari (untuk awal bulan Ramadan) atau menyempurnakan umur bulan Ramadan 30 hari (untuk awal bulan Syawal). Sebagian yang lain membedakan antara ketentuan waktu puasa Ramadan dan metode atau cara untuk mengetahuinya. Ketentuan waktu puasa Ramadan termasuk dalam wilayah ta'abbudi sedangkan metode atau cara mengetahui atau menentukannya termasuk dalam wilayah ta'aqqu/i atau ijtihadi. Metode atau cara menentukannya dapat dilakukan dengan metode hisab.

Di samping perbedaan dalam implementasi paradigma keagamaan di atas, pilihan dalil-dalil syar'i yang menjadi landasan berpijak dalam' penetapan awal bulan pun serta interpretasinya terhadap dalil-dalil terpilih itu, menyebabkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.

Seperti disinggung di atas, masalah penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, bukan semata-mata masalah agama, tetapi juga masalah sosial, karena ia berimplikasi sosial, bersentuhan dengan interaksi kehidupan keagamaan umat. Namun demikian, masalah agama lebih menonjol. Itulah sebabnya masalah ini sangat sensitif dan berdampak luas.

Perbedaan pendapat dalam masalah fikih sudah tidak asing lagi dan merata hampir dalam setiap aspek fikih. Oalam banyak hal umat Islam tidak merasa terusik dengan perbedaan-perbedaan tersebut. Akan tetapi dalam masalah penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah perbedaan itu membuat umat Islam merasa sangat tidak "nyaman" dalam menunaikan agama yang dianutnya dan diyakininya itu. Oleh karena itu, masalah ini telah banyak menguras perhatian, pikiran, dan tenaga kaum muslimin untuk mencari jalan keluarnya. Oalam beberapa hal telah mengalami banyak kemajuan, meskipun belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.

Pedoman syar'i tentang awal bulan qamariah bersifat umum, fleksibel dan interpretable. Beberapa ayat al-Qur'an berikut terlihat banyak memberikan keleluasaan bagi kaum muslimin untuk menentukan kriteria awal bulan qamariah yang dipilih, sesuai dengan hasil pemahaman masing-masing terhadap ayat-ayat tersebut. AI-Qur'an tidak membelenggu kaum muslimin untuk hanya menggunakan satu kriteria saja dalam penetapan awal bulan ini. Keluasan dan keluwesan pedoman yang terkandung dalam al-Qur'an itu, di satu sisi memberikan kemudahan tetapi di sisi lain menimbulkan masalah karena membuka peluang besar untuk berbeda pendapat. Padahal perbedaan pendapat itu tidak jarang menimbulkan ketegangan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan pendapat itu bukan hanya dalam tingkat memberikan interpretasi tekstual terhadap ayat-ayat al­Qur'an tersebut, melainkan juga terhadap nilai-nilai otoritatif dari ayat-ayat itu untuk digunakan dalam penentuan kriteria awal bulan qamariah dan penetapannya.

Pilihan dalil yang digunakan sebagai dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah serta interpretasinya tidak dapat dipungkiri menyebabkan umat Islam berbeda pendapat dalam menetapkan awal-awal bulan tersebut. Ketika pilihan dalil jatuh semata-mata kepada petunjuk Rasulullah SAW melalui sabda-sabdanya menganai perintah memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat (terlihatnya hilal) secara harfiah maka akan melahirkan kesimpulan bahwa penentuan awal bulan tersebut harus berdasarkan rukyat. Oisamping rukyat masih dimungkinkan (hisab) istikmal, tetapi yang terakhir ini hanyalah jalan keluar ketika rukyat ada hambatan misalnya cuaca mendung. Menjadikan rukyat sebagai dasar penetapan awal bulan tidak serta merta menyelesaikan masalah karena secara intern dalam rukyat itu masih terdapat sejumlah persyaratan yang juga mengundang dan mengandung perbedaan, demikian pula jalan keluar yang ditempuh ketika rukyat tidak berhasil karena kendala alam tidak hanya satu tetapi bervariasi.

sistem dan metode manapun sesungguhnya tidak dapat menentukan awal bulan atau bulan baru qamariah, termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, kerja hisab hanyalah sampai pada menentukan posisi atau kedudukan Bulan pada saat tertentu, seperti menentukan tingginya atau posisinya pada saat terbenam Matahari, atau sebaliknya menentukan waktu dalam waktu mana Bulan mencapai posisi atau kedudukan yang telah ditentukan, seperti menentukan saat terjadinya ijtima' Matahari dan Bulan. Ketentuan tentang kapan atau apa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa bulan baru sudah mulai atau bulan yang berlangsung sudah berakhir, berada dalam wilayah agama dan ilmu pengetahuan Astronomi atau IImu Falak di luar hisab (dalam arti perhitungan). Dengan demikian, hisab dalam arti tersebut lebih berperan dalam cara untuk mengetahui apakah tanda-tanda awal bulan atau akhir bulan sudah ada. Dengan perkataan lain, hisab adalah metode untuk menemukan awal bulan qamariah.

Berbeda dengan hisab, rukyat dapat diposisikan dalam dua fungsi.

Pertama sebagai metode, rukyat merupakan cara empirik untuk mengetahui pertanda awal atau akhir bulan. Dalam hal ini, sudah tentu pertanda awal bulan itu adanya hilal karena benar-benar terlihat. Kedua bukan sebagai metode melainkan kriteria awal bulan. Jadi terlihatnya hilal itulah yang merupakan kriteria awal bulan qamariah.

Meskipun pandangan yang menyatakan rukyat bukan sebagai metode masih cukup kuat, kecenderungan memposisikan rukyat sebagai metode juga semakin menguat. Rukyat sebagai metode empirik (saksi mata) untuk menemukan pertanda bulan baru qamariah di satu sisi, di sisi lain hisab sebagai metode ilmiah teoritik (saksi ahli).

Dengan jelas, bahwa rukyat tidak dapat digunakan untuk menyusun kalender Hijriyah karena pengetahuan tentang adanya bulan baru diketahui pada saat itu juga dan tidak dapat diketahui sebelumnya.

Kriteria Bulan Baru Qamariah

Kriteria bulan baru qamariah mengacu pada pilihan dalil yang dijadikan landasan dan logika yang dibangun untuk memahaminya dan berujung pada dua arus besar, yaitu rukyah dan hisab, kemudian dari kedunya ini berkembang kriteria penentu bulan baru qamariah yang beraneka ragam. Pertama, menyatakan bahwa awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai sejak terlihatnya hilal pada saat terbenam Matahari tanggal 29. Kalau tidak terlihat, maka jalan keluarnya adalah mengambil maksimum umur bulan 30 hari dan setelah itu mulailah tanggal 1 bulan baru. Kriteria ini kemudian melahirkan suatu sistem penetapan awal bulan yang dikenal dengan 'rukyalul-hilal bil-fi'lj". Seperti telah disinggung di atas, kriteria ini tidak dapat digunakan untuk penyusunan kalender Hijriyah. Kedua, menyatakan bahwa bulan baru qamariyah dimulai pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijlima' (konjungsi).

Terjadinya konjungsi Bulan-Matahari sebelum terbenam matahari sudah dapat dijadikan sebagai patokan dalam penetapan bulan baru qamariyah. Kriteria ini dikenal dengan "hisab ijlima' qabla/-gurub". Keliga, menyatakan bahwa bulan baru qamariyah dimulai pada sa at terbenam Matahari setelah terjadi ijlima' (konjungsi) dan pada saat terbenam matahari Bulan belum terbenam, atau dengan perkataan lain, Bulan sudah berada di timur matahari ketika matahari terbenam. Kriteria ini dikenal dengan "hisab wujudul-hilaf'. Keempal, menyatakan bahwa bulan baru qamariyah dimulai pad a saat terbenam Matahari setelah terjadi ijlima' (konjungsi) dan pada saat terbenam matahari Bulan sudah berada pada posisi tertentu yang mungkin untuk dilihat. Kriteria ini dikenal dengan "hisab imaknur-rukyal".

Hisab ijtima' qablal-gurub

Hisab ijlima' qabla/-gurub menetapkan bahwa bulan baru sudah terjadi pada saat terjadinya ijlima'. Sementara itu pergantian hari terjadi pada saat terbenam Matahari. Oleh karena itu sistem ini mengaitkan saat ijlima, dengan saat terbenam Matahari. Kriterianya adalah "jika ijtima' terjadi sebelum terbenam Matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijlima' terjadi setelah terbenam Matahari maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung" .

Dengan demikian, menu rut pandangan ini, ijlima' adalah pemisah di antara dua bulan qamariah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam Matahari, maka kalau ijlima' terjadi sebelum terbenam Matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijlima' terjadi setelah terbenam Matahari maka malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.

Kriteria bulan baru qamariah di atas, nampaknya didasarkan pada pandangan astronomis bahwa saat ijlima' Bulan - Matahari adalah pemisah di antara bulan yang berurutan. Jadi pada saat terjadi ijlima' itu bulan baru sudah terjadi. Hanya saja untuk kepentingan praktis sehari-hari tidak mungkin menetapkan pergantian bulan pada saat terjadi ijlima' itu, karena ia dapat terjadi kapan saja, bisa siang dan bisa malam, bisa pagi hari dan bisa pula sore hari, sembarang waktu. Itulah sebabnya maka pergantian bulan itu disesuaikan dengan fenomena pergantian hari yang langsung dialami oleh umat manusia yang ada di Bumi, yakni terbenam Matahari.

Kriteria itupun didasarkan pada hasil interpretasi terhadap sejumlah ayat al-Qur'an.Ayat ayat al-Qur'an tersebut antara lain adalah surat Yunus (10) ayat 5 (terjemahnya): "Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (diyaJ dan Bulan bercahaya (nur) dan ditetapkanNya manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu". Manzilah-manzilah yang dimaksud dalam ayat ini adalah tempat-tempat kedudukan Bulan pada saat-saat tertentu terhadap Matahari dan Bumi (moon stations). Kedudukan Bulan dan Matahari itu selalu berubah-ubah karena keduanya beredar pada garis edarnya masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya' (21) ayat 33:

Image

"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, Matahari dan Bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar pada garis edarnya".

Penegasan yang sama ditunjukkan pula pada surat Yasin (36) ayat 40.

Perubahan kedudukan dari Bulan dan Matahari itu mengakibatkan bentuk semu Bulan yang terlihat dari Bumi (fase-fase Bulan) berubah-ubah pula. Hal ini disebabkan oleh karena Bulan itu benda gelap yang hanya dapat terlihat apabila permukaannya terkena sinar Matahari. Ini ditunjukkan oleh surat Yunus (10) ayat 5 di atas, Matahari adalah diya' (bersinar sindiri), sedangkan Bulan nur (bersinar bukan dengan sendirinya). Akibatnya hanya permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari dan menghadap ke Bumi yang dapat dilihat.

Surat Yasin (36) ayat 39 menegaskan (terjemahnya): "dan telah Kami tetapkan bagi Bulan itu manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (,urjunil-qadim)". Ayat ini mengisyaratkan bahwa fase­fase Bulan itu terjadi berulang-ulang berupa siklus. Ini terjadi karena (1 )Bulan beredar lebih cepat dari Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, perhatikan surat Yasin (36) ayat 40 yang menyatakan (terjemahnya): "tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan (mengejar/mendahului) Bulan". (2)keduanya bergerak menurut arah yang sama yaitu dari barat ke timur, (3)alur gerak keduanya memutar bukan bergerak lurus sehingga Matahari secara terus menerus berulangkali terkejar oleh Bulan.

Pada saat Matahari terkejaroleh Bulan itulah yang dikatakan ijtima'.

Pada saat itu bentuk semu Bulan yangterkecil ('urjunil-qadim)itu dicapai. Jadi pad a saat ijtima' itIJ mulai ada "hil~r. Hilal ini, kemudian, dijadikan sebagai dasar penetapan awal bulan qamariah, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-B~qar9.h (2) ayat 189 (terjemahnya): "mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji".

Hisab Wujudul-hilal

Hisab Wujudul-hilal menegaskan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadan dan Syawal) dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima' dan Bulan pada saat itu belum terbenam masih berada di atas ufuk (horizon). Oengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah adalah : (a) awal bulan qamariah dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima', (b) pada saat terbenam Matahari tersebut Bulan belum terbenam atau masih berada di atas ufuk berapapun besarnya.

Dalam hal menetapkan awal bulan sejak terbenam Matahari, aliran ini sama persis dengan ijtima' qablal-gurub. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup menyolok dalam menetapkan kedudukan Bulan terhadap ufuk. Dalam ijtima' qablal-gurub sama sekali tidak memperhatikan kedudukan Bulan pada ufuk pada saat terbenam Matahari, sedangkan "wujudul hi/at mensyaratkan kedudukan Bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk pada saat Matahari terbenam. Tegasnya, walaupun ijtima' terjadi sebelum terbenam Matahari, pada saat terbenam Matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan qamariah sebelum diketahui posisi Bulan terhadap ufuk pada sa at terbenam Matahari itu. Apabila pada saat terbenam Matahari itu Bulan belum terbenam atau masih berada di atas ufuk maka sejak saat itu mulai masuk bulan baru qamariah sebaliknya apabila pad a saat itu Bulan sudah terbenam atau sudah di bawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan qamariah yang sedang berlangsung.

Dalil dan interpretasinya yang digunakan oleh sistem ini sama dengan yang digunakan oleh sistem hisab ijtima' qablal-gurub. Akan tetapi dalam hal menetapkan adanya bulan baru mempersyaratkan adanya pada saat terbenam Matahari, artinya pada saat terbenam Matahari Bulan harus belum terbenam. Persyaratan ini ditetapkan karena di ruang angkasa tidak ada Timur dan Barat. Timur, Barat, Utara, dan Selatan khusus hanya terdapat di Bumi. Kalau dikatakan, bahwa Bulan dan Matahari bergerak menurut arah dari Barat ke Timur, adalah semata-mata berdasarkan ketentuan dalam astronomi yang menyatakan, bahwa gerak arah dari Barat ke Timur adalah gerak, yang kalau dilihat dari Kutut Utara, berlaku menurut arah yang bertentangan dengan arah perputaran jarum arloji. Jadi kalau demikian, garis manakah yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan bulan baru qamariyah?

Dalam ilmu falak kedudukan Bulan terhadap Matahari adakalanya ditentukan dengan menggunakan lingkaran-lingkaran bujur langit yang tegaklurus pada ekliptika sebagai garis patokan, akan tetapi garis itu bukan satu-satunya, karena ada lagi garis lain, yaitu lingkaran-lingkaran waktu yang tegaklurus pada lingkaran ekuator langit, atau bahkan lingkaran-lingkaran bujur Bulan yang tegaklurus pada lingkaran falak Bulan. Semua lingkaran yang disebutkan ini adalah lingkaran-lingkaran khayal yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi sengaja diciptakan oleh ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu.

Persoalan tersebut diselesaikan dengan memperhatikan al-Qur'an surat Yasin (36) ayat 40 kelanjutan dari ayat yang sama yang sudah dikutip terdahulu yang artinya "Dan malam tiada dapat mendahului siang" Ayat ini menggambarkan situasi pada senjahari, ketika malam mengambilalih kekuasaan dari siang. Pengambilalihan itu berlaku dengan teratur dan tertib, tanpa ada semangat saling dahulu-mendahului atau seman gat berebutan. Masuknya senja yang ditandai dengan terbenamnya Matahari berlaku dengan amat beraturan. Dalam ilmu hisab terbenamnya Matahari dapat ditentukan dengan ketelitian sampai kepada detik waktu yang eksak. Disamping itu dapat diuji dengan observasi.

Perpindahan siang kepada malam secara mutlak ditentukan oleh terbenamnya Matahari. Sedangkan terbenamnya Matahari adalah terhadap ufuk. Dengan demikian, dalam ayat tersebut di atas pada hakekatnya telah dikemukakan suatu unsur baru, yaitu garis ufuk. Kesimpulannya, dalam menentukan apakah Bulan sudah di sebelah Timur atau masih di sebelah Barat Matahari, garis ufuklah yang seharusnya dijadikan pedoman.

Menetapkan garis ufuk sebagai petunjuk Timur dan Barat mempunyai segi-segi yang sukup menarik: Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan dan sifat-sifat yang jelas, sehingga tidak ada keragu­raguan dalam mendefinisikannya. Kedua, ufuk merupakan persoalan Bumi, sedangkan perjalanan Bulan dan Matahari adalah persoalan ruang angkasa, persoalan langit. Oengan menggunakan ufuk sebagai patokan, berarti telah memasukkan unsur keduniaan ke dalam persoalan langit, sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi man usia. Ketiga, ufuk bukan hanya persoalan dunia, tetapi juga terikat kepada suatu tempat tertentu di permukaan Bumi. Ufuk dalam astronomi dikenal juga dengan local horizon, yakni ufuk setempat. Penetapan bulan baru qamariyah menurut ketentuan agama rupanya diikatkan dengan situasi setempat, sebagaimana halnya penetapan waktu­waktu ibadah lainnya seperti salat. Caranya adalah dengan menetapkan ufuk setempat sebagai patokan dalam menentukan apakah Bulan sudah di sebelah Timur Matahari atau belum.

Di samping itu, mengingat hadis-hadis Nabi saw yang menunjukkan bahwa pembuktian ada atau tidak adanya hilal itu dibuktikan dengan cara melihatnya pada saat terbenam Matahari. Ini menjadi penting pada sistem hisab wujudul"hilal karena tidak setiap ijtima' terjadi sebelum terbenam Matahari secara otomatis Bulan terbenam lebih kemudian dari pada Matahari, akan tetapi bisa saja Bulan itu sudah lebih dahulu terbenam dari pada Matahari. ' ,

Cara menentukannya adalah dengan menempatkan Matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi Bulan. Bila Bulan berkedudukan di atas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa Bulan sudah berada di sebelah timur Matahari..,situasi demikian menunjukkan menunjukkan bahwa bulan baru qamariah sudah mulai atau dengan kata lain "hilal sudah wujud'. Interpretasi de_ian mengukuhkan ~apat bahwa wujudul-hilal sebagai kriteria masuknya bulan baru qamariah.

Hisab Imkanur-rukyat

Kriteria wujudul-hilal oleh sebagian orang dipanqang 'beIum memuaskan karena dirasa belum mengakomodasi ketentuan syara' yang terkait dengan rukyat, (terlihatnya hilal), sebagaimana dinyatakan oleh hadis - hadis Rasulullah saw. Sabda Rasullulah saw tersebut mengisyaratkan bahwa yang harus dijadikan kriteria untuk menentukan masuknya bulan qamariah adalah kemungkinan terlihatnya hilal (visibilitas hila!). Kriteria ini kemudian dikenal dengan imkanur-ru'rah. Substansi dari sabda Rasulullah saw itu, menurut pandangan ini, bukan terletak pada melihat hilal akan tetapi terletak pada mungkinnya hilal itu dapat dilihat. Dengan perkataan lain, Bulan berada pada posisi atau situasi tertentu sehingga memungkinkan untuk dilihat.

Awal bulan qamariah, menurut sistem hisab imkanur-rukyat, dimulai pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima' dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat untuk memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan masuknya awal bulan qamariah menurut aliran ini terlebih dahulu ditetapkan suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam Matahari sesudah ijtima' orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.

Para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriterium hilal yang mungkin dapat dilihat itu. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriterium lain yakni angular distance (sudut elongasi) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara kumulatif. Konferensi internasional tentang penentuan awal bulan qamariah yang diadakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05° dan angular distance atau sudut pandang antara hilal dan Matahari 07° sampai 08°.

Tentang kriterium ketinggian Bulan yang mungkin dapat dilihat berbeda-beda, ada yang mengatakan 07°,06° dan 03°, demikian pula halnya dengan besarnya sudut pandang antara hilal dengan Matahari. Taqwim Standar Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI didasarkan pada kriteria ketinggian Bulan minimum 02°. Belakangan ini ada berbagai kriteria yang ditawarkan yang lebih kompleks, misalnya kombinasi antara ketinggian, sudut elongasi, umur bulan, dan fraksi luas sabit Bulan.

Kriteria imkanur-rukyat ini tampaknya meyakini bahwa apabila posisi hilal sudah memenuhi syarat tersebut, dalam keadaan cuaca normal sudah dapat dipastikan dapat terlihat, meskipun tidak benar-benar terlihat. Itulah sebabnya ada yang memandang bahwa kriteria imkanur-rukyat ini sebagai jalan tengah antara sistem ru'yah dengan sistem hisab, meskipun sistem ini termasuk dalam kategori sistem hisab.

Uraian di atas menegaskan beragamnya kriteria bulan baru, ijtima' qablal-ghurub, wujudul-hilal, dan imkanur-rukyat. Namun demikian, ketiga memiliki kesamaan dalam hal menempuh cara untuk mendapatkan atau mencapai kriteria bulan baru qamariah tersebut, yaitu cukup dengan melakukan perhitungan kedudukan Bulan, oleh karena itu ia disebut hisab (hisab = perhitungan).

Kriteria imkanur-ru'yah menghadapi persoalan, yaitu mengenai parameter atau kriteria yang dapat dijadikan ukuran bahwa Bulan mungkin dapat dilihat. Persoalan ini tidak hanya terkait dengan posisi Bulan di cakrawala tetapi juga berkaitan erat dengan sudut pandang dari Bulan itu, kuat dan lemahnya cahaya yang dipancarkan/dipantulkan, kontras hilal terhadap langit sekelilingnya, dan faktor cuaca. Oleh karena itu, para ahli astronomi berbeda-beda dalam memberikan kriteria visibilitas hilal (kemungkinan hilal dapat dilihat). Ditambah lagi karena faktor-faktor tersebut tidak dapat digeneralisir karena sifatnya sangat lokal dan temporal.

Jika kriteria imkanur-ru'yah memahami substansi hadis Nabi saw. tersebut adalah kemungkinan hilal dapat dilihat, maka kriteria wujudul-hilal memandang bahwa substansi dari sabda Rasulullah saw tersebut dan had is­hadis lainnya yang senada dengan itu adalah wujudnya hilal tidak harus mungkin terlihat. Kelanjutan dari sabda Rasulullah saw tersebut yang berbunyi :

Image

Menunjukkan bahwa dengan menyempurnakan bilangan bulan yang sedang berlangsung 30 hari memberi keyakinan bahwa Bulan sudah melewati matahari atau sudah berada di sebelah timur matahari.

Secara teori kriteria ijtima' qablal-ghurub dan wujudul-hilal tidak bermasalah, apalagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan IImu Falak atau Astronomi yang sudah mencapai tingkat yang meyakinkan. Kriteria ijtima' qablal-ghurub berpotensi menimbulkan masalah ketika ia dihadapkan kepada petunjuk Nabi saw. yang nampaknya mendasarkan pergantian bulan pada posisi hilal atau Bulan pada ufuk. Karena kriteria ini tidak mempertimbangkan kemunculan hilal atau Bulan pada saat Matahari terbenam, padahal bisa saja terjadi ijtima' sebelum terbenam Matahari namun pada saat terbenam Matahari tersebut Bulan sudah terbenam duluan. Masalah tersebut tidak akan terjadi pada kriteria wujudul-hilal atau imkanur­ru'yah . Kriteria wujudul-hilal menghadapi masalah jika harus dihadapkan pad a kemungkinan terlihatnya hilal (bulan sabit). Sedang imkanur-ru'yah menghadapi masalah, karena kriteria tentang kemungkinan terlihatnya hilal atau Bulan masih probelmatis.

Penutup

Uraian singkat di atas memperlihatkan bahwa banyak ragam acuan yang dijadikan pedoman dalam penyusunan kalender Hijriyah. Simposium ini, dengan melibatkan para pakar di bidangnya, tentu akan menemukan lagi banyak persoalan. Harapan kami dengan simposium ini benang kusut seperti tergambar di atas itu dapat diselesaikan. Memang simposium ini saja tidak memiliki obsesi untuk menyelesaikan masalah secara instan sekarang, akan tetapi paling tidak ditemukan prinsip-prinsip yang dipedomani dalam penyusunan kalender Hijriyah.

Jakarta, 4 September 2007

Monday, September 10, 2007

Prof Dr. Syafii Maarif

Prof. Dr. H.A. Syafii Ma’arif  Guru besar Ilmu Sejarah ini dilahirkan di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Sejak kecil Syafii Maarif memang sudah bergumul dengan pengetahuan tentang agama Islam. Hal itu berkat pendidikan dari almarhurn orangtuanya, Makrifah, dan juga dipertajam dengan pendidikan yang dijalani kemudian, yang akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam tradisi Islam. Setamat dari Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di Sumpurkudus pada tahun 1947, ia melanjutkan studinya ke Madrasah Mu'allimin Lintau, Sumatera Barat. Pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Lintau tersebut kemudian dilanjutkan ke Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah di Yogyakarta sampai tamat pada tahun 1956.

Melanjutkan ke perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah bagi Syafii Maarif setelah menamatkan studinya dari Madrasah Mu'allimin Yogyakarta, karena setelah kedua orangtuanya meninggal dunia pembeayaan untuk melanjutkan studinya nyaris terputus. "Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak," katanya suatu saat mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan reporter Majalah KUNTUM. Berkat bantuan dari saudaranya, Syafii Maarif akhirnya bisa melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta.

Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Setelah putus kuliah, ia menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Motivasi belajar yang dimiliki Syafi'i Ma'arif memang sangat tinggi. Sambil bekerja ia kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena ia tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, dan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968.

Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji, setelah ia memperoleh gelar Master pada Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Ameria Serikat. "Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan," kata Syafii Maarif dalam sebuah wawancara dengan wartawan KOMPAS. Baginya, sejarah berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas. Ini meru­pakan studi yang sangat menarik ten­tang manusia yang memang unik. Gelar Doktoralnya di peroleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, di Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.

"Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat, dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari." Kalimat yang rendah hati itu pernah diucapkannya pada pembuka Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di IKIP Yogyakarta. "Rendah hati adalah refleksi dari iman," kata Syafii. "Orang semakin berisi biasanya semakin rendah hati. Bukan filsafat ilalang, semakin tinggi semakin liar tumbuhnya."

Syafii Maarif adalah figur ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat (setidaknya masyarakat Yogyakarta) dia lebih dikenal sebagai seorang agamawan. "Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja," kata Syafii Maarif mengutip sebuah ayat suci Al Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuan manusia. Dalam pengertian itulah, maka ia yakin bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. "Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia," demikian ia menekankan. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya. Ia diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya.

Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Syafi'i Ma'arif, selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau dia fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.

Keterlibatannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah. Ketika reformasi di Indonesia sedang bergulir, Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus banyak melibatkan diri dalam aktivitas politik di negeri ini untuk menjadi salah satu lokomotif pergerakan dalam menarik gerbong reformasi di Indonesia. Muhammadiyah harus diselamatkan agar tidak terbawa oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pada saat itulah, ketika Muhammadiyah harus merelakan Amien Rais untuk menjadi pemimpin bangsa, maka Syafi'i Ma'arif menggantikannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Pleno Diperluas yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta.

Pada Muktamar ke-44 tahun 2000 ia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode masa jabatan 2000-2005


Prof Dr. Amien Rais

Prof. Dr. H. M. Amien Rais  Tokoh Reformasi Indonesia ini dilahirkan di Surakarta, 26 April 1944. Orang tuanya sebenarnya menginginkannya menjadi kiai dan melanjutkan pendidikan di Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan oleh orang tuanya sangat kental dengan nilai-nilai agama, baik di pendidikan dasar (SD Muhammadiyah I Surakarta) maupun di pendidikan menengah (SMP dan SMA). Pendidikan tingkat sarjana diselesaikan oleh Amien Rais di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, sementara ia juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1969. Pada saat mahasiswa inilah ia banyak terlibat aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua III Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master di bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Amerika Serikat, dan selesai pada tahun 1974. Dari universitas yang sama ia juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sementara itu, gelar Doktoralnya diperoleh dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1981 dengan disertasinya yang cukup terkenal, yaitu Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia juga pernah mengikuti Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988.

Perjalanan pendidikannya tersebut telah memberinya banyak pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dan mengantarkannya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri ini, bahkan di berbagai belahan dunia yang lain. Tugas-tugas intelektualisme pun ia lakukan, baik transformasi keilmuan (mengajar di berbagai universitas) dan juga melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung.

Kritiknya yang sangat vokal sangat mewarnai opini publik di Indonesia. Sepulangnya dari pendidikan di Amerika, ia terkenal sebagai pakar politik Timur Tengah, dan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempat ia sendiri belajar banyak tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Kondisi politik dan perekonomian di Indonesia yang sudah mulai membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorong Amien Rais bersuara keras pada tahun 1993 (Tanwir Muhammadiyah di Surabaya) dengan isu suksesi kepresidenan, sebuah isu yang janggal pada saat itu karena kepemimpinan Orde Baru masih sangat kuat. Pembusukan politik dan ekonomi pada dasawarsa kedua tahun 1990-an mendorongnya kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan lebih luas lagi, yaitu reformasi politik di Indonesia. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, ia mulai menggulirkan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, ia akhirnya menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.

Keterlibatannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun meninggalnya Azhar Basyir sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian mengantarkannya untuk menggantikan kepemimpinan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Muktamar Muhammadiyah ke-43 kembali mengamanatinya untuk menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Lagi-lagi, sejarah bangsa ini mengharuskannya meninggalkan jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi bagi ummat dan bangsa ini. Pada Sidang Pleno di Jakarta tahun 1998, Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
RESENSI BUKU

Judul:
Akhlak Pemimpin Muhammadiyah


Penerbit:
Suara Muhammadiyah


Pengarang:
-


Kutipan dari sampul belakang:
Bukan pemimpin yang dibutuhkan dalam Muhammadiyah, mereka yang sanggup mengeluarkan sejumlah uang, menyebar orang-orangnya berkampanye, untuk mendapatkan simpati dari orang banyak agar berbaris di bawah bendera kepemimpinannya.

Pemimpin yang dibutuhkan Muhammadiyah adalah mereka yang sungguh-sungguh memiliki akhlak kepemimpinan yang tinggi. Dia memiliki akhlak islami dan sekaligus Qur'ani, berjiwa bersih, jujur dan bercita-cita tinggi, cerdas, arif, sabar, harga diri, berkharisma, dan percaya diri.

Pemimpin Muhammadiyah yang demikian, niscaya akan mampu menyatukan umat Muhammadiyah dalam berjuang, menyentuh hati untuk berkorban, ditaati semua ajakan dan ucapannya.


Keterangan:

Buku ini berisi kumpulan makalah yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mempunyai satu tema, yakni bagaimana seharusnya pemimpin Muhammadiyah itu. Buku ini sangat penting untuk dibaca, mengingat saat ini, cara-cara partai politik mulai digunakan oleh beberapa oknum anggota Muhammadiyah untuk menjadi anggota pimpinan Muhammadiyah.
  1. BUKU RESMI MUHAMMADIYAH

  2. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1987, AD ART 'Asyiyah, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  3. PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, 1988, AD ART Ikatan Pelajar Muhammadiyah, PP IPM, Yogyakarta.
  4. PP Muhammadiyah, 1987, AD-ART Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  5. PP Muhammadiyah, 1989, AD-ART Muhammadiyah, -, Yogyakarta.
  6. PP Muhammadiyah, tt, AD-ART Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  7. Dewan Tarjih PP Muahammadiyah, 1982, Adab Al-Mar'ah Fi Al-Islam, -, Yogyakarta.
  8. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1990, Akhlak Pimpinan Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  9. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1971, Akidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah, PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Yogyakarta.
  10. Dewan Tarjih PP Muhammdiyah, tt, AL-AMwaal Fil Al-Islam Fungsi Harta Menurut Ajaran Islam, Persatuan, Yogyakarta.
  11. PP Muhammadiyah Majelis PPM, 1984, Bahan Referensi Lokakarya PTM Se Indonesia, PP Muhammadiyah Majelis PPM, Jakarta.
  12. PP Muhammadiyah Majelis PPK, 1984, Bahan-Bahan Referensi Lokakarya Perguruan Tinggi Muhammadiyah Seluruh Indonesia Tahun 1984, PP Muhammadiyah Majelis PPK, Jakarta.
  13. PP Muhammadiyah - Tapak Suci, 1996, Berita Resmi Keputusan Muktamar ke 11 Tapak Suci PM dan Keputusan Sidang Pleno Ke 1 PP Tapak Suci PM, -, -.
  14. , tt, Berita Resmi Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, .
  15. Pengurus Besar Muhammadiyah, 1929, Berita Tahoen Moehammadiyah Hidia Timoer, Waltecreden Landdrukkerij, Yogyakarta.
  16. PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, 1995, Biodata Bakal Calon PPNA Periode 1995-2000, -, -.
  17. Hoofdbestuur Moehammadijah, 1932, Boeah Congress Moehammadijag Makassar, Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia-Timoer, Yogyakarta.
  18. PP Muhammadiyah, 1938, Boeah Congress Moehammadijah ke-24, Hoofdcomite Congress Moehammadijah, Yogyakarta.
  19. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1991, Buku Daftar Nasional Mubaligh Muhammadiyah 1990, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta.
  20. PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, 1996, Buku Panduan Bakti Silahturahmi Remaja (Basira), PP IRM, Yogyakarta.
  21. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1991, Buku Panduan Rakernas Tabligh 25-28 Oktober 1991 di Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, Panitia Pelaksana RAKERNAS, Yogyakarta.
  22. PP Muhammadiyah, 1992, Buku Panduan Sidang Tanwir Muhammadiyah 12-19 Januari 1992 di Jakarta, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  23. PP Muhammadiyah, 1982, Buku Pegangan Bagi Instruktur Kaderisasi Pemuda Muhammadiyah, -, Jakarta.
  24. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1970, Buku Pegangan Khusus Untuk Peserta TC Darul Arqom, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  25. anonim, 1978, Central leadership of Muhammadiyah, Ashort introduction to muhammadiyah, , jakarta.
  26. PP Muhammadiyah, 1956, Chittah Muhammadiyah 1956-1959, -, Yogyakarta.
  27. PP Muhammadiyah - Majelis P dan K, 1990, Daftar Alamat Sekolah SD, SLTP, SLTA Madrasah dan Pesantren Muhammadiyah Seluruh Indonesia Tahun 1990, PP Muhammadiyah, Jakarta.
  28. PP Muhammadiyah, 1989, Dakwah Muhammadiyah Menghadapi Era Indonesia Modern, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  29. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1989, Dakwah Muhammadiyah Menghadapi Era Indonesia Modern (Sumbang Saran Untuk Sidang Tanwir Tahun 1989), PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta.
  30. PP Muhammadiyah, 1993, Data Organisasi dan Amal Usaha Seluruh Indonesia, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  31. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1986, Dialog Dakwah Nasional ( KUmpulan Makalah ), -, Yogyakarta.
  32. PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1984, Dinamika M, PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, Yogyakarta.
  33. PP Muhammadiyah, 1992, Direktori Organisasi Kemasyarakatan Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Jakarta.
  34. PP Muhammadiyah, 1992, Direktori Organisasi Kemasyarakatan Muhammadiyah 1992/1993, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  35. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1988, Gerak Dakwah Muhammadiyah Menatap Masa Depan, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta.
  36. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1992, Hakikat Islam, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  37. PP Muhammadiyah Majelis PKU, tt, Hasil Keputusan MUKERNAS PKU VI/1981 di Jakarta, -, -.
  38. PP Muhammadiyah Majelis PKU, 1981, Hasil Keputusan Musyawarah Kerja Nasional Majelis PKU VI Tanggal 22-28 Maret 1981 di Jakarta, PP Muhammadiyah Majelis PKU, Jakarta.
  39. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1989, Hasil Keputusan Tarjih Di Malang, -, -.
  40. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1998, Himpunan kaidah Dalam 'Asyiyah, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  41. PP Muhammadiyah, 1974, Himpunan Putusan Tarjih, -, -.
  42. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, tt, Himpunan Putusan Tarjih, -, -.
  43. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1988, Islam dan Dakwah Pengumpulan Antara Nilai dan Realitas, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta.
  44. PP Muhammadiyah, tt, Kemuhammadiyahan, Pustaka SM, Yogyakarta.
  45. PP Muhammadiyah, tt, Kepribadian MKCHM, Khittoh, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  46. PP Muhammadiyah, 1989, Kepribadian, Keyakinan, dan Cita-Cita Hidup dan Khittah Perjuangan Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  47. PP Muhammadiyah, 1965, Kepusan Muktamar Muhammadiyah Ke-36 Di Bandung, Pusat Panitia Muktamar, Yogyakarta.
  48. PP Muhammadiyah, 1978, Keputusan Muktamar ke-40 di Surabaya, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  49. PP Muhammadiyah, 1968, Keputusan Muktamar Muhammadiayh Ke-37, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  50. PP Muhammadiyah, 1991, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 42, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  51. PP Muhammadiyah, 1990, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta 15-19 Desember 1990, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  52. PP Muhammadiyah, 1995, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 43 Beserta Makalah Prasarananya, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.
  53. PP Muhammadiyah, 1978, Keputusan Muktamar Muhammadiyah XL di Surabaya Tgl. 24-30 Juni 1978, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  54. PP Muhammadiyah-Tapak Suci, 1991, Keputusan Muktamar Tapak Suci X dan Sidang Pleno PP Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Depertemen Penerbitan dan Pustaka, Yogyakarta.
  55. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1989, Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII Pada Tanggal 12-26 februari 1989 di Malang, PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Yogyakarta.
  56. PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, 1994, Keputusan Musyawarah NA 1994, PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, Yogyakarta.
  57. PP Muhammadiyah - Majelis P dan K, 1988, Keputusan PP Muhammadiyah No 06/PP/1988, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  58. PP Muhammadiyah, 1968, Kitab Iman Hasil Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta.
  59. Anonym, t.t., Kitab Tarjih Muhammadiyah, t.p, .
  60. PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, 1987, Kumpulan Makalah Coaching Intruktur Ikatan Pelajar Muhammadiyah, PW IPM, Yogyakarta.
  61. Anonym, t.t., Kumpulan Makalah Sidang Tanwir 1994 di Surakarta, t.p, .
  62. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1991, Kumpulan Pelatihan Instruktur BPK Muhammadiyah di Kaliurang 6-9 Oktober 1991, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  63. PP Muhammadiyah, 1990, Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 1985-1990 Kepada Muktamar Muhammadiyah XLII Tanggal 15-19 Desember 1990 di Yogyakarta, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  64. PP Muhammadiyah, tt, Laporan PP Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir 1992 di Jakarta, t.p., -.
  65. PP Muhammadiyah, tt, Laporan PP Muhammadiyah Dalam Sidang Tanwir 1994 di Surakarta, t.p., -.
  66. PP Muhammadiyah, 1993, Laporan PP Muhammadiyah Dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah Tanggal 11-13 Desember 1993 di Surabaya, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  67. PP Muhammadiyah, 1990, Laporan PP Muhammadiyah kepada Muktamar ke 42, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  68. PP Muhammadiyah, 1995, Laporan PP Muhammadiyah Per 1990-1995 Kepada Muktamar 43, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  69. PP Muhammadiyah - Hizbul Wathan, 1961, Majelis Hizbul Wathan, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  70. Tim Penyusun Materi Penmgkaderan Muhammadiyah, 1994, Materi Induk Pengkaderan Muhammadiyah, Badab Pendidikan Kader PP MUhammadiyah, Yogyakarta.
  71. PP Muhammadiyah, 1983, Mengkaji Muhammadiyah, -, Jakarta.
  72. PP Muhammadiyah, 1984, Menuju Muhammadiyah, -, Yogyakarta.
  73. PP Muhammadiyah Majelis Ekonomi, 1990, Menyongsong Jaman Harapan, t.p., Jakarta.
  74. PP Muhammadiyah, 1995, Menyongsong Muktamar ke 43 Muhammadiyah di Banda Aceh, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  75. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1980, Modul Materi Latihan Instruktur Mubaligh Muhammadiyah Tingkat Nasional, -, -.
  76. PP Muhammadiyah, 1935, Moment Versiag Putusan Congres Muhammadiyah Di Banjarmasin 15-22 Juli 1935, Hoofdcomite Congres Muhammadiyah, Yogyakarta.
  77. Anonym, tt, Muhammadiyah Movement In Indonesia, PP Muhammadiyah, Jakarta.
  78. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1985, Muktamar 'Asyiyah ke-41, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  79. PP Muhammadiyah, 1990, Muqadimah AD-ART Muhammadiyah Muktamar ke 41, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  80. PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, 1999, Nasyiyatul 'Aisyiyah Riwayat Singkat Khittah, Perjuangan dan Kepribadian, Dep. Dokin, Yogyakarta.
  81. PP Muhammadiyah - Hubungan Masyarakat, 1993, Opni Tanwir Tanggal 10-13 Desember 1993 di Surabaya, PP Muhammadiyah - Hubungan Masyarakat, Jakarta.
  82. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1994, Panduan Pengajian Pimpinan Wilayah Jawa - Lampung, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta.
  83. PP Muhammadiyah - Majelis P dan K, 1988, Pedoaman Pengurusan Keuangan Majelis / Bagian Pendidikan Dan Kebudayaan Dalam Penyelenggaraan Perguruan Muhammadiyah(SK PP Muhammadiyah Majelis P Dan K No 155/SK-MPK/1988 Tanggal 25 Mei 1988), PP Muhammadiyah, Jakarta.
  84. PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, 1993, Pedoman Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah, PP IRM, Yogyakarta.
  85. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1990, Pedoman Ber Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  86. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1990, Pedoman Pengkaderan Muhammadiyah, t.p., Yogyakarta.
  87. PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, 1998, Pedoman Umum Program Dakwah terpadu NA, PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, Yogyakarta.
  88. PP Muhammadiyah Majelis PKS, 1994, Pendidikan Ketrampilan Sebagai Salahsatu Alternatif Upaya Pengentsan Kemiskinan (Bahan Usulan Untuk Muktamar Muhammadiyah XLIII di Aceh 1-5 Juli 1995), PP Muhammadiyah Majelis PKS, Yogyakarta.
  89. PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, tt, Pengelolaan Ranting IRM dan Forum Ta'ruf Dan Orentasi Siswa Muhammadiyah, PP IRM, Yogyakarta.
  90. PP Muhammadiyah-Madjelis Hizbul Wathan, tt, Penghidupan Pengela, Majelis Hizbul Wathan, Yogyakarta.
  91. Hoofdbestuur Muhammadijah, 1940, Pengurus Hak Milik Tanah Muhammadiyah, Hoofdbestuur Muhammadiyah, Yogyakarta.
  92. PP Muhammadiyah, tt, Penjelasan Tentang Kebijakan PP Muhammadiyah Periode 1962-1965 dan 1965-1968, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  93. PP Muhammadiyah Majelis PKS, 1994, Penumbuhan dan Pengembangan Balai Kesejahteraan Sosial (BAKESOS) Bahan Usulan Unruk Dimasyarakatkan Dlama Muktamar Muhammadiyah XLIII di Aceh 1-5 Juli 1995, PP Muhammadiyah Majelis PKS, Jakarta.
  94. PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, tt, Peran dan Tantangan Muhammadiyah dalam Membangun Ummat dan Bangsa, -, -.
  95. PP Muhammadiyah - Majelis Pendidikan Tinggi, 1994, Pernyataan Kegiatan LKMM Se Indonesia, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  96. PP Muhammadiyah - Majelis Pendidikan Tinggi, 1994, Pernyataan Kegiatan RAKERNAS Pemabntu Rektor III PT Muhammadiyah Se Indonesia Tanggal 26-28 Maret 1994 Di Yogyakarta, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  97. PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1991, Petunjuk Praktis Pelaksanaan Program Tabligh Masa Kerja 1990-1995, Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, Lampung.
  98. PP Muhammadiyah Majelis Ekonomi, tt, Pokok-Pokok pikiran Muhammadiyah Dalam Pengembangan Koperasi, PP Muhammadiyah Majelis Ekonomi, Jakarta Timur.
  99. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, tt, Putusan-Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta.
  100. PP Muhammadiyah - Majelis Pendidikan Tinggi, 1999, Qa'idah Perguruan Tinggi Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  101. PP Muhammadiyah Majelis PKS, 1993, Qaidah Majelis Pembina Kesejahteraan Sosial (PKS) Hasil RAKERNAS I 28-30 Agustus 1993, PP Muhammadiyah Majelis PKS, Yogyakarta.
  102. PP Muhammadiyah - Majelis P dan K, 1989, Qaidah Perguruan Dasar Dan Menengah Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  103. PP Muhammadiyah, 1996, Rakernas Bendahara Muhammadiyah 7-9 Juni 1996, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  104. PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1990, Risalah Islam Bidang Akhlak, PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Yogyakarta.
  105. PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1995, Sejarah muhammadiyah, PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, Jakarta.
  106. PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1996, Sejarah Muhammadiyah, PW Muhammadiyah Lampung, Lampung.
  107. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, tt, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan 'Asyiyah, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  108. PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1994, Seminar Nasional Sejarah Muhammadiyah Tanggal 11 Juni 1994 di Yogyakarta, PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, Yogyakarta.
  109. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1992, Sidang Tanwir "asyiyah I 1990-1995, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  110. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1994, Sidang Tanwir 'Asyiyah II 1990-1995, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  111. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1989, Sistem Pengkaderan Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  112. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1990, Sistem Pengkaderan Muhammadiyah, t.p., Yogyakarta.
  113. Presidum Of The Jami'at Muhammadiyah, 1958, Statutes Of The Jami'at Muhammadiyah, Usaha Faida, Yogyakarta.
  114. anonim, tt, Suara Muhammadiyah, Yayasan Badan Penerbit pers "Suara Muhammadiyah", Yogyakarta.
  115. PP Muhammadiyah, 1954, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  116. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1993, Tanfidz keputusan RAKERPIM BPK PP Muhammadiyah Tanggal 12-14 November 1993 di Yogyakarta, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  117. PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, tt, Tanfidz keputusan Tanwir I Nasyiyatul 'Aisyiyah Beserta Keputusan Muktamar VIII Nasyiyatul 'Aisyiyah, PP Nasyiyatul 'Aisyiyah, Yogyakarta.
  118. PP Muhammadiyah, 1980, Tanfidz Keputusan Tanwir Tanggal 28 November - 03 Desember 1980 di Yogyakarta, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  119. PP Muhammadiyah, 1994, Tanwir Muhammadiyah di Surakarta 29-31 Desember 1994, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  120. Dewan Tarjih PP Muhammadiyah, 1990, Tanya Jawab Agama, Yayasan Penerbitan Pers Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.
  121. PP Muhammadiyah - Hizbul Wathan, 1961, Tuntunan HW, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  122. Pimpinan Pusat 'Asyiyah, 1989, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, PP 'Asyiyah, Yogyakarta.
  123. PP Muhammadiyah, 1972, Tuntunan Organisasi No. 1 Agustus 1972, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  124. PP Muhammadiyah - Badan Pembinaan Kader, 1977, Tuntunan Praktis Pelaksanaan Gerakan Jama'ah, -, Yogyakarta.
  125. PP Muhammadiyah - Hizbul Wathan, 1954, Tuntutan Athfal, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
  126. PP Muhammadiyah - Hizbul Wathan, 1954, Tuntutan Hizbul Wathan, PP Muhammadiyah, Yogyakarta.

KH Ahmad Dahlan

Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi yang bernama Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta tetaplah tidak memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah telah mencatat lain. Kampung Kauman menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan 18 November 1912.

Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.


Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.

4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.