Melanjutkan ke perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah bagi Syafii Maarif setelah menamatkan studinya dari Madrasah Mu'allimin Yogyakarta, karena setelah kedua orangtuanya meninggal dunia pembeayaan untuk melanjutkan studinya nyaris terputus. "Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak," katanya suatu saat mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan reporter Majalah KUNTUM. Berkat bantuan dari saudaranya, Syafii Maarif akhirnya bisa melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Setelah putus kuliah, ia menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Motivasi belajar yang dimiliki Syafi'i Ma'arif memang sangat tinggi. Sambil bekerja ia kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena ia tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, dan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968.
Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji, setelah ia memperoleh gelar Master pada Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Ameria Serikat. "Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan," kata Syafii Maarif dalam sebuah wawancara dengan wartawan KOMPAS. Baginya, sejarah berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas. Ini merupakan studi yang sangat menarik tentang manusia yang memang unik. Gelar Doktoralnya di peroleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, di Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.
"Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat, dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari." Kalimat yang rendah hati itu pernah diucapkannya pada pembuka Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di IKIP Yogyakarta. "Rendah hati adalah refleksi dari iman," kata Syafii. "Orang semakin berisi biasanya semakin rendah hati. Bukan filsafat ilalang, semakin tinggi semakin liar tumbuhnya."
Syafii Maarif adalah figur ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat (setidaknya masyarakat Yogyakarta) dia lebih dikenal sebagai seorang agamawan. "Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja," kata Syafii Maarif mengutip sebuah ayat suci Al Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuan manusia. Dalam pengertian itulah, maka ia yakin bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. "Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia," demikian ia menekankan. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya. Ia diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Syafi'i Ma'arif, selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau dia fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.
Keterlibatannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah. Ketika reformasi di Indonesia sedang bergulir, Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus banyak melibatkan diri dalam aktivitas politik di negeri ini untuk menjadi salah satu lokomotif pergerakan dalam menarik gerbong reformasi di Indonesia. Muhammadiyah harus diselamatkan agar tidak terbawa oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pada saat itulah, ketika Muhammadiyah harus merelakan Amien Rais untuk menjadi pemimpin bangsa, maka Syafi'i Ma'arif menggantikannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Pleno Diperluas yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Pada Muktamar ke-44 tahun 2000 ia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode masa jabatan 2000-2005
Prof Dr. Amien Rais
Prof. Dr. H. M. Amien Rais Tokoh Reformasi Indonesia ini dilahirkan di Surakarta, 26 April 1944. Orang tuanya sebenarnya menginginkannya menjadi kiai dan melanjutkan pendidikan di Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan oleh orang tuanya sangat kental dengan nilai-nilai agama, baik di pendidikan dasar (SD Muhammadiyah I Surakarta) maupun di pendidikan menengah (SMP dan SMA). Pendidikan tingkat sarjana diselesaikan oleh Amien Rais di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, sementara ia juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1969. Pada saat mahasiswa inilah ia banyak terlibat aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua III Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master di bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Amerika Serikat, dan selesai pada tahun 1974. Dari universitas yang sama ia juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sementara itu, gelar Doktoralnya diperoleh dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1981 dengan disertasinya yang cukup terkenal, yaitu Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia juga pernah mengikuti Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988.
Perjalanan pendidikannya tersebut telah memberinya banyak pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dan mengantarkannya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri ini, bahkan di berbagai belahan dunia yang lain. Tugas-tugas intelektualisme pun ia lakukan, baik transformasi keilmuan (mengajar di berbagai universitas) dan juga melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung.
Kritiknya yang sangat vokal sangat mewarnai opini publik di Indonesia. Sepulangnya dari pendidikan di Amerika, ia terkenal sebagai pakar politik Timur Tengah, dan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempat ia sendiri belajar banyak tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Kondisi politik dan perekonomian di Indonesia yang sudah mulai membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorong Amien Rais bersuara keras pada tahun 1993 (Tanwir Muhammadiyah di Surabaya) dengan isu suksesi kepresidenan, sebuah isu yang janggal pada saat itu karena kepemimpinan Orde Baru masih sangat kuat. Pembusukan politik dan ekonomi pada dasawarsa kedua tahun 1990-an mendorongnya kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan lebih luas lagi, yaitu reformasi politik di Indonesia. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, ia mulai menggulirkan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, ia akhirnya menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.
Keterlibatannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun meninggalnya Azhar Basyir sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian mengantarkannya untuk menggantikan kepemimpinan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Muktamar Muhammadiyah ke-43 kembali mengamanatinya untuk menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment